Luq Yana Chaerunnisa
Hari masih terlalu pagi, berselimut kabut tipis terdengar deru truk
bak terbuka yang penuh gundukan sampah melewati jalan depan kos. Seperti biasa,
pada waktu yang sama aku juga bersiap
untuk nongkrong di lantai dua genteng kos dengan membawa sebuah buku bacaan dan
handphone. Ya, rutinitas yang selalu kulakukan setiap pagi. Pemandangan yang
cukup menyegarkan mata, karena bisa melihat penampakan lima gunung dari
berbagai arah, namun aku sendiri tak tau nama gunungnya. Hehe Ditambah
lagi dengan udara segar Ngaliyan yang bisa dirasakan saat pagi sebelum tercemar
oleh asap polusi kendaraan bermotor dan asap cerobong pabrik.
Memang sudah menjelang tiga pekan ini, aku berdiam diri di kos
akibat diliburkan oleh kampus karena pandemi virus corona. Belum lama sebelum
masa pengumuman yang pertama itu habis, muncul kembali kebijakan kampus untuk
memperpanjang libur atau kuliah daring sampai batas waktu yang belum
ditentukan. Dan diharapkan untuk seluruh mahasiswa yang masih di Ngaliyan untuk bisa segera pulang ke
daerahnya masing-masing.
Pengumuman kebijakan kampus yang terbaru lantas dengan cepat
menyebar ke mahasiswa serta civitas akademik. Dan salah satunya ke aku. Pagi
itu rasanya baik-baik saja, setelah membaca beberapa halaman buku yang kubawa
lalu kusempatkan untuk membuka notifikasi whatsapp di handphone.
Awalnya rasa bahagia menyelimuti kalbu karena merasa sudah akan menjelang dua
pekan kuliah daring, itu artinya aku bisa kembali ngampus dan bertemu
dengan sahabat-sahabati lagi. Dan pagi itu juga tak ada yang lebih kutunggu
selain pengumuman kuliah offline atau bertatap muka secara langsung.
Namun, harapanku sirna akibat pengumuman
kebijakan kampus bahwa kuliah daring di perpanjang.
Memang, kebijakan Pemerintah untuk memberlakukan social
distancing yang kemudian diikuti oleh sebagian besar daerah yang ada di
Indonesia benar adanya. Termasuk salah satunya dalam bidang pendidikan.
Berbagai universitas mengubah metode belajar yang semula secara tatap muka
menjadi daring atau online. Demi memutus rantai penyebaran virus corona
atau COVID-19.
Dalam hal ini ada yang menjadi keresahanku ketika harus menerima
dengan sangat terpaksa kebijakan tersebut. Pertama, dengan adanya perpanjangan
libur yang belum ditentukan batas waktunya, itu berarti sahabat-sahabati cepat
atau lambat akan kembali ke kampung halamannya masing-masing dan Ngaliyan akan
sepi dari aktivitas mahasiswa. Kemudian yang kedua, karena
sahabat-sahabati telah pulang kekampung halamannya masing-masing, akibatnya
kami akan menjalani LDR yang cukup lama juga. Lalu yang ketiga, akibat
LDR tersebut maka semua aktivitas produktif yang biasa kami lakukan bersama
akan terbengkalai, terancam gagal, bahkan tak akan terjadi pada periode ini. Sungguh
menyedihkan...
Ya, kami memang akan menjalani masa LDR tersebut sampai batas waktu
yang belum ditentukan. Long Distance Relationship(Hubungan Jarak Jauh)
atau sering dikenal dengan sebutan LDR(Letih Dilanda Rindu) tersebut, kini
tak hanya dirasakan oleh orang yang memiliki hubungan berstatus pacaran saja.
Namun juga untukku, untuk para single terhormat dengan para civitas akademik,
sahabat-sahabati, mbak-mbak kantin kampus, abang-abang fotokopian, bapak
satpam, pak Yono angkringan dan lain sebagainya sedang merasakan LDR tersebut.
Sungguh memang Pandemi virus corona telah membuatku dengan
sahabat-sahabati LDR. Sebenarnya sulit untuk percaya ketika kita mengalami LDR
dengan pasangan maupun seseorang yang spesial. Terkadang apa yang diucapkannya
via media sosial tak sama dengan apa yang sedang ia lakukan. Dengan LDR,
perlahan kita juga akan mulai merasakan kerinduan yang tak berujung temu. Dan itu
akan membuat batin semakin tersiksa.
Namun kuharap untuk kita para pejuang LDR yang saat ini sedang
berjuang bersama-sama untuk melawan virus mematikan ini. Tak apa kita tahan
kerinduan ini. Janganlah menambah beban kita seakan terus bertambah. Tetap
menjalaninya dengan ikhlas tanpa mengeluh karena semua pasti ada hikmahnya. Tetaplah menjalin komunikasi dengan sahabat-sahabati. Jangan pula
acuh tak acuh terhadap chat yang masuk karena bagi pejuang LDR, masalah
‘sesederhana’ yakni abai terhadap balasan chat akan membuat kita semakin jauh
saja.
Kita paham betul bahwa LDR akan membuat pertemuan yang
intensitasnya semakin jarang. Kesibukan dengan keluarga ataupun tugas kuliah yang
terus menggila kemudian menjadi pembenaran untuk bersikap acuh tak acuh. Sejujurnya,
musuh LDR bukanlah jarak. Omong kosong sekali jika di tengah kemajuan iptek
masih sulit bertukar kabar. Bukan jarak yang menjadi musuh kita. Melainkan
krisis percaya yang membuat hati berdentum tak keruan.
Maka dari itu, walaupun kita tak dapat bertatap muka untuk
melakukan aktivitas produktif yang biasa kita lakukan bersama seperti diskusi,
ngopi, pelatihan softskill dan lain-lain. Namun janganlah bersedih hati, kita
masih akan tetap melakukannya hanya saja berbeda sistem dan cara kerjanya yakni
via online.
Sungguh memang itu akan sangat terasa berbeda. Namun aku harap kita
setidaknya percaya; LDR tidak semenakutkan kisah picisan dalam roman cinta. Jadi,
mau, kan, berjuang bersama untuk tetap produktif di tengah pandemi virus corona
ini?
Sebelumnya telah terbit di pmiigusdur.com
Komentar
Posting Komentar