Surat Terbuka untuk Rektor dan Pimpinan UIN Walisongo Semarang

 

Surat Terbuka

Kepada Rektor, Wakil Rektor, Dekan, Wakil Dekan, dan para Pimpinan kampus UIN Walisongo Semarang

Prof. Dr. Imam Taufiq, M.Ag, Dr. H.Mukhsin Jamil, M.Ag, Dr. H.Abdul Kholiq, M.Ag, Dr. Achmad Arief Budiman, M.Ag. H.Muntoha, S.Ag, M.M. Priyono, M.Pd, Drs. Adnan, M.Ag, Dr. H. A Hasan Asy’ari Ulama’I, M.Ag, Dr. H. Akhmad Arif Junaidi, M.Ag, Dr. Ilyas Supena, M.Ag, Dr.H. Mohamad Arja Imroni, M.Ag, Dr.Hj. Lift Anis Ma’shumah, M.Ag, Dr.H. Hasyim Muhammad, M.Ag, Dr.H. Muhammad Saifullah, M.Ag, Dr.Hj. Misbah Zulfa Elizabeth, M.Hum, Prof. Dr. Syamsul Ma’arif, M.Ag, Dr. H. Ismail, M.Ag, Prof. Dr. H. Abdul Ghofur, M.Ag.

Dan masih banyak lagi yang terlewat saya sebutkan karena keterbatasan saya untuk menyebutkan semuanya.

Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.

Teriring sholawat kepada baginda Rasul Muhammad SAW beserta ahlulbait dan sahabat-sahabatnya. Semoga Allah merahmati Bapak dan Ibu sekalian.

Izinkan saya memperkenalkan diri secara singkat. Nama saya adalah Luq Yana Chaerunnisa. Saya biasa dipanggil dengan panggilan Luqy. Saya sekarang merupakan salah satu mahasiswa UIN Walisongo Semarang, semester enam  jurusan Pendidikan Guru Madrasah Ibtidaiyah(PGMI).

Surat terbuka ini saya persembahkan untuk kita semua yang sedang berjuang melawan ganasnya biaya pendidikan. Untuk menyuarakan yang dirasakan teman-teman seperjuangan yang sedang berusaha mendapat keringanan biaya UKT. Berbagai macam alasan yang terlontar, kita semua berharap UKT diturunkan. Bukan karena saat ini kita semua dilanda pandemi Covid-19. Namun, keresahan ini sudah ada jauh sebelum ini terjadi. Kita sudah tercekik, menjerit lara, nelangsa karena aspirasi tak pernah terealisasi.

Ketika mahasiswa menjerit meminta tolong perihal UKT, mungkin hanya beberapa orang saja yang  terketuk pintu hatinya untuk menghibahkan sedikit penghasilannya demi membantu meringankan.

Dalam Peraturan Menteri(Permen) Mendikbud Nomor 55 Tahun 2013 pasal 1 ayat 3, dijelaskan bahwa UKT merupakan biaya kuliah tunggal yang ditanggung setiap mahasiswa berdasarkan kemampuan ekonominya. Lalu kemudian Polemik kenaikan Uang Kuliah Tunggal(UKT) di UIN Walisongo terjadi semenjak ia berganti nama dari IAIN menjadi UIN yang menyisakan banyak persoalan. Salah satunya penerapan regulasi UKT hingga saat ini belum tepat sasaran.

Tercatat sejak tahun 2016 UIN Walisongo menggelar aksi besar-besaran di depan gedung rektorat dengan membawa ratusan massa dari mahasiswa baru saat itu. Tak dapat terelakkan beberapa wakil mahasiswa yang menjadi sulutnya terancam di drop out akibat dianggap sebagai biang provokasi.

Ketika UKT bukan hanya soal mahal atau tidaknya, besaran UKT juga sudah ditetapkan dan di share jauh-jauh hari oleh menteri agama, serta dalam menentukan besaran UKT itu berbasis kekuatan keuangan masing-masing orang tua. Tetapi, mengapa masih banyak teman-teman mahasiswa yang merasa tidak sesuai dengan besaran UKT yang ditetapkan? Bahkan semuanya dipukul rata. Adakah transparansi penentuan besaran UKT tersebut dengan sebenar-benarnya data?

Bapak dan Ibu para pimpinan yang mulia

Saya masih ingat betul dengan apa yang  terjadi pada dua tahun yang lalu. Tepatnya pada bulan Juni 2018 ketika para wakil mahasiswa menyuarakan aspirasai mahasiswa lainnya dengan menggelar aksi di depan rektorat lagi. Menggelorakan semangat juang yang katanya UIN Walisongo adalah kampus rakyat. Gelora semangat mahasiwa langsung padam terbantahkan saat salah satu pimpinan UIN Walisongo yang kini menjadi Pimpinan tertinggi di Kampus mengatakan “ Siapa bilang UIN Walisongo kampus rakyat?  Ini bukan kampus rakyat, ini kampus pemerintah, tidak ada istilah rakyat-rakyatan,”pungkasnya. (baca: http://www.lpmmissi.com/2018/06/wr-ii-uin-walisongo-tidak-kuat-bayar.html)

Lalu pada tahun 2019 puluhan mahasiswa Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan(FITK) tanpa diikuti oleh fakultas lainnya melancarkan aksi demo di depan Kantor Pusat Kegiatan mahasiswa Universitas(PKM-U) untuk menuntut kelanjutan keputusan DEMA dan SEMA atas tuntutan soal penurunan UKT yang telah disampaikan kepada rektor beberapa hari sebelumnya. Namun, hal itu sama saja tak ada kejelasan bagaimana hasilnya. (baca: https://amanat.id/tuntut-kejelasan-keputusan-ukt-mahasiswa-fitk-lakukan-aksi-di-depan-kantor-dema-u/)

Bapak dan ibu pimpinan yang baik

Rasanya tak pernah surut dan padam semangat mahasiswa walau sering terpatahkan. Tak pernah mati juang walau sering terombang-ambing menunggu kepastian. Kemudian saat ini, di tahun 2020 kita semua dikejutkan oleh pandemi covid-19. Kita semua sadar bahwa dampak Covid-19 ini dirasakan oleh  seluruh lapisan masyarakat  tak terkecuali para mahasiswa. Dan lagi-lagi mahasiswa berontak, menjerit meminta tolong dengan melakukan berbagai upaya untuk menyuarakan keluhan mereka. Aksi yang biasanya digelar secara berbondong-bondong berjalan menuju depan rektorat dengan membawa ratusan masa. Kini, hanya bisa dilakukan secara online. Konsolidasi akbar yang dilakukan pada kamis malam oleh mahasiswa dengan rektor beserta jajarannya pun belum ada keputusan kongkrit yang bisa diterima oleh semua pihak.  Terputus akibat kesalahan teknis dan jaringan yang kurang memadai.

Bapak dan Ibu pimpinan yang saya hormati,

Saya telah membaca berbagai berita perjuangan Mahasiswa untuk mendapat haknya dalam menuntut penyesuaian UKT tersebut, kemudian menyimak berbagai ceramah bapak dan ibu pimpinan yang sering berbicara tentang kemanusiaan dan peradaban. Seperti semboyan kampus kita sendiri yakni kampus kemanusiaan dan peradaban, maupun menyaksikan berbagai wawancara yang bapak dan ibu sampaikan kepada para wartawan kampus sesaat setelah aksi itu berlangsung. Saya telah mengakrabi wacana ini sejak tahun 2017 ketika saya baru menjadi mahasiswa baru.

Walau demikian, apa yang saya lihat dengan apa yang bapak dan ibu sampaikan setiap tahunnya adalah sama sekali berbeda dan jauh sekali dengan apa yang diharapkan serta menjadi tuntutan para  mahasiswa. Saya disini tidak akan membahas dari sisi hukum, ketentuan, administrasi, atau bahkan hal selain itu yang belum dapat saya nalar sendiri. Karena saya sadar saya tidak sepintar  Bapak dan Ibu para pimpinan.

Dalam surat ini saya ingin mengetuk hati Bapak atau Ibu.

Saya berharap Bapak/Ibu memejamkan mata sejenak untuk membayangkan apabila anak bapak/ ibu berada dalam situasi-situasi yang dikeluhkan oleh mahasiswa berikut ini:

        


Bapak dan Ibu pimpinan yang dikasihi Allah,

Saya telah mempelajari dan masih terus menerus mempelajari dengan serius masalah UKT yang melilit mahasiswa kalangan bawah untuk menuntut ilmu. Apakah UKT hanya diperuntukkan kepada mereka yang berasal dari kalangan elite semata. Apakah benar bagi mahasiswa yang tak mampu membayar UKT, tak usah kuliah saja karena beranggapan ilmu tak hanya di bangku perkuliahan saja? Tetapi bisa didapatkan dimana saja. Apakah demikian? Atau dengan bangga mengatakan bahwa UIN Walisongo adalah salah satunya perguruan tinggi negeri yang biayanya masih rendah? Kalau tak bisa membayar ya nggak usah kuliah? Apakah seperti itu Pak/Bu?

Semoga hal itu tidak benar, semoga masih ada naluri dalam hati dan sanubari Bapak/Ibu untuk tetap mempertahankan mahasiswa yang ingin sukses dan dapat bermanfaat bagi sesama, seperti yang mungkin sudah Bapak/Ibu lakukan sebelumnya.

Bapak/Ibu  pimpinan yang semoga selalu dirahmati Allah,

Demikianlah surat ini saya buat. Saya tidaklah memerlukan balasan, tetapi tentu tidak akan berkeberatan untuk menerimanya. Saya hanya berharap Bapak/Ibu sungguh-sungguh memikirkan, mengkaji dan merenungkan isi surat saya yang barangkali hanya ampas belaka ini dengan jujur dan dengan hati dan pikiran yang terbuka.

Mahasiswa Bapak/Ibu saat ini sedang digantungkan nasibnya karena menunggu keputusan terbijak dan adil untuk diterapkan. Menunggu dengan penuh harap agar keputusan itu tepat sasaran untuk mahasiswa yang benar-benar membutuhkan.

Jikalau Bapak/Ibu pimpinan tidak tersentuh, dan mengatakan bahwa hal ini sudah dilakukan serta tepat sasaran, simpanlah argumentasi-argumentasi semacam itu untuk Bapak/Ibu sendiri yang dikaruniai dengan segenap keberuntungan itu.

Maka, sesungguhnya, saya pikir, disitulah gugurnya semboyan kampus kita. Yakni sebagai kampus Kemanusiaan dan Peradaban. Adakah Islam mengajarkan kita untuk mengacuhkan orang orang lemah tak berdaya? Apakah demi hukum mengenai secarik kertas yang tersebar di berbagai media sosial seorang  anak yang ingin membahagiakan orang tuanya dan bermanfaat bagi sesama, Bangsa dan Negara dengan cara menuntut ilmu di perguruan tinggi, pelan-pelan harus terkubur dalam-dalam?

Saya tidak meyakini Islam yang sedemikian. Saya tidak meyakini ajaran-ajaran Alquran maupun agama yang disampaikan Rasulullah tersebut bertentangan dengan akal budi dan hati nurani dan tidak memiliki empati. Saya meyakini Islam, sesuai namanya, sebagai Rahmatan lil Alamin yakni Rahmat bagi seluruh alam, sebagai wahana untuk memberdayakan akal budi, menjernihkan hati nurani dan melatih empati agar manusia dapat menjadi rahmat karunia bagi alam semesta. Saya meyakini sebagai Muslim, sesuai namanya, kita menempuh Jalan Hidup untuk menyelamatkan dan melindungi kehidupan.

Semoga kiranya Allah SWT melalui para mursyid gaib membimbing pikiran dan tindakan kita,

Wassalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

Luq Yana Chaerunnisa

Mengenang tahun istimewa, tulisan ini dibuat tahun 2020 dan baru dipublikasikan sekarang untuk mengawali tahun juang, 2021.

Komentar