PATI ITU TERBUAT OLEH RINDU DAN KENANGAN, SELEBIHNYA ADALAH PELAJARAN HIDUP BAHWA YANG ABADI ADALAH...

Hai, teman.

Sudah lama tidak bertegur sapa. Semoga blog ini akan tetap hidup meski pemiliknya sedang  dirundung oleh beberapa perpisahan. Memang, akhir-akhir ini, pikiranku sedang kembali pada ingatan kurang lebih 18 tahun silam. Masa dimana anak yang saat ini berumur kurang dari 45 hari genap 23 tahun, ia masih unyu, lugu, masih jadi anak pertama dan cucu pertama dalam silsilah keluarga, jauh dari orang tua yang saat itu sedang merantau. Ia tinggal bersama mbah, yang pulang sekolah tak mau makan tapi sudah kelayapan, juga dikenal sebagai anak manis yang sukanya nyanyi lagunya Agnes Monica berjudul “Matahariku” dan konser nggak jelas di panggung buatan belakang rumahnya guru Ngaji.

                Duh, ingatan itu benar-benar membuatku dalam sekejap bisa melakukan dua hal. Satu, menangis karena rindu. Dua, bahagia karena Tuhan memberikan kisah yang begitu ajaib terhadapnya. Kendatipun begitu, nampaknya kisah dan harapan akan cerita itu dapat terulang takkan terjadi lagi. Sebab telah banyak perpisahan yang dialami.

                Pati, saat umurku menginjak tiga tahun, orang tuaku memutuskan untuk merantau ke Riau. Tentu, bukan keputusan yang mudah bagi mereka untuk meninggalkanku di rumah bersama Mbah Putri(Saat itu Mbah Kakung juga sedang di Jambi, sebelum akhirnya diminta oleh Pae untuk pulang mengurus keperluan sekolah TK ku). Pae dan Bue merantau ke Riau untuk membuka lahan sawit. Aku merasa tidak memiliki kesempatan serta kendali untuk mengatakan pada mereka “Jangan pergi dan menetaplah di usia keemasan sebagai anak untuk berada dalam asuhan orang tuanya”. Sejak saat itu, ada beberapa hal yang aku tunggu, kiriman jajan satu kardus atas requestku, surat cinta dari mereka melalui sehelai kertas yang dititipkan pada pengantar, serta sambungan telephone pada telephone genggam Mbah Ton pemilik patung harimau yang sangat terbatas detik perbincangannya. Rinduku selalu berlanjut hingga Pae dan Bue pulang ke Pati saat musim lebaran tiba. Dan itupun tidak menentu.

                Cerita tentang kerinduan itu berlanjut, tatkala Mbah kakung pulang dari Jambi untuk mengurus keperluan sekolahku. Aku memasuki jenjang TK. Pae dan Bue tidak ada disampingku. Yang mengantarkan, menjemput maupun membeli perlengkapan sekolahku secara langsung. Dan itu berlanjut hingga aku memasuki jenjang sekolah dasar sampai kelas 4 SD. Aku masih sama. Masih unyu, namun tidak lugu karena terbukti saat ditanya ingin memiliki adik oleh Pae Bue, aku menolaknya secara keras dan mengatakan “Aku nggak mau punya adik, nanti nggak disayang  oleh Pae Bue lagi, jajanku berkurang, nanti sayangnya beralih ke adik”. Begitulah reaksi ku saat itu. Jauh dari orang tua, justru  membuatku menjadi anak yang cukup pandai mengeksplore lingkungan dengan baik wkwk tumbuh menjadi anak periang, putune Mbah yang hiperaktif dan yang pasti rival juara dari teman sekelas yang kegemarannya dolan pas lagi panas-panas e.

                Rindunya bukan pada kelakuanku yang patut untuk dicontoh oleh anak-anak sekarang ya. Melainkan pada Mbah Kakung, rindu itu kini bersemayam sampai akhir hayat. Mbah kakung yang mengajarkanku untuk menjadi pribadi yang tangguh, welas asih, periang, dan tanpa pamrih. Mbah kakung itu baik sekali pada cucu satu-satunya ini. Mbah kakung selalu menggendongku tatkala tertidur nonton televise. Setiap kali ingin pergi kemanapun pasti diajak, cucunya tidak pernah absen diboncengannya. Sifatnya yang periang dan tidak sombong serta tak pernah terlihat sedih, membuat orang-orang menyukainya.

                Hari-hariku sudah terbiasa dengan Mbah. Jadi, kerinduan kepada Pae Bue dapat dibendung , karena setiap kali rindu, pasti  Mbah kakung selalu memiliki caranya untuk menghibur cucunya agar tidak bersedih. Meski begitu aku tetap merindukan moment  saat lebaran tiba, saat dimana keluarga berkumpul di Pati. Selayaknya  lagu “Desaku” karya L. Manik. Tempat ayah dan bunda, dan handai taulanku... Selalu ku rindukan, desaku yang permai. Permai begitulah rasanya. 

Pada akhirnya rindu itu dimulai lagi, lebih dalam, tatkala Mbah Kakung mengalami kecelakaan pada tanggal 18 Oktober 2008, beliau menghembuskan nafas terakhirnya sebelum mengucapkan selamat tinggal pada cucunya. Yang membuatku menangis saat itu ialah  pesan yang selalu terngiang-ngiang dari beliau,

“Aku tidak pernah meninggalkan cucuku, aku meh ngelihat dia nikah kok.”

Itulah yang diucapkan oleh Mbah saat digombali Mbah Putri, karena rambutnya yang sudah memutih. Dan kalimat itu selalu membuatku menitikkan air mata “Katanya mbah nggak mau ninggalin aku sampai nikah, kok ini pergi.”

Memang, saat kecelakaan itu. Aku sedang tertidur di rumah. Tumben saja, beliau tidak mengajak cucunya ini. Kan aku jadi nyesal karena sudah tidur waktu itu, dan bangun beberapa menit, mendapatkan kabar yang mengejutkan. Aku tak ingin berlarut pada kejadian ini. Karena itulah, akhirnya aku pindah ke Riau bersama Pae Bue usai satu bulan doanya Mbah Kakung.

Dan malam ini, aku hanya ingin meluapkan kerinduan itu. Pati, akan selalu menjadi rumah rindu yang abadi. Sebab ia yang diharapkan takkan kembali dan kisahnya terulang lagi. Terima kasih telah memberikanku kerinduan yang berujung temu sekaligus pisah

Cerita tentang Pati memang tidak akan sesingkat ini, maka anggap saja ini sebagai prolog. Dan sebelum kuakhiri, jika doa dalam kertas HVS, bufallo dan sejenisnya dapat termakan oleh rayap. Maka aku harap permohonan lantunan Al Fatihah melalui blog ini akan awet. Teruntuk Mbah Kakung(Kasir), Mbah Dami yang baru kemaren mencapai seribu harinya, dan juga Mbah Salam sang pemberi senyuman manis pada cucunya. Al Fatihah. 

Pati, 11 Oktober 2021. 

Komentar