KAMBING dan HUJAN Asmara ku terjerat oleh perbedaan
ideologi atas nama ”Islam”
“Tapi, bukankah tidak
sembarang orang diberi kesempatan dan kehormatan untuk memperjuangkan cinta
yang dicita-citakannya?”(Kambing dan Hujan, hal 275)
Pertanyaan disebuah percakapan
dalam novel Karya Mahfud Ikhwan, Kambing dan Hujan membuat saya melek akan
sebuah perjuangan sepasang kekasih dalam memperjuangkan cintanya, Miftahul
Abrar(Mif) dan Nurul Fauzia(Fauzia). Bukan seperti masalah percintaan yang
biasa di alami oleh anak muda kebanyakan, yakni perihal usia, calon sudah mapan atau belum dan lain
sebagainya. Namun, lebih dari itu terkait ideologi keduanya, keluarga Mif dan
Fauzia.
Kisah ini bermula ketika
Mif dan Fauzia bertemu pertama kali didalam bus menuju Surabaya. Mereka memang
berasal dari satu desa yang sama, Tegal Centong, namun hal itu tak membuat
Fauzia mengenali Mif. Bukan suatu hal yang mengherankan, lantaran Mif adalah
anak tokoh Masjid Utara, sedangkan Fauzia adalah anak tokoh masjid Selatan.
Yang tak pernah akrab dan tak begitu saling mengenal. Hingga akhirnya Mif
membuka percakapan itu dan mengenalkan nama serta alamatnya, juga identitasnya
sebagai anak utara. Obrolan pun berlanjut hingga mereka bertukar alamat surel. Sampai
terjalin hubungan dan kisah cinta diantara mereka lalu akhirnya memutuskan
untuk menikah dan harus meminta restu kepada orang tuanya masing-masing.
Mif dan Fauzia menyadari bahwa perjuangan
mereka untuk meminta restu tidak akan mudah mengingat perbedaan yang ada
diantara mereka. Mereka harus mengalami drama cinta yang sulit dan penuh
konflik, hingga mengantarkan pada masa lalu dua keluarga(Mif dan Fauzia).
Permasalahan yang berkaitan dengan perbedaan ideologi keduanya, keluarga Mif
maupun keluarga Fauzia.
Mif adalah anak keluarga
Centong Utara, penganut Islam pembaharu(modern) yakni identik dengan
Muhammadiyah. Sedangkan Fauzia adalah anak keluarga Centong Selatan, penganut
Islam Tradisional yakni Nahdliyyin(Nahdlatul Ulama’). Mereka sudah menyadari
sebelumnya bahwa kisah cinta mereka tak akan mendapat jalan yang mudah dan
mulus begitu saja. Melihat akan banyak cobaan dan tantangan yang akan mereka
hadapi. Seperti apa yang dikatakan pak Iskandar, bapak Mif, kepada Mif dalam
suatu cerita dalam novel tersebut.
“Pernikahan itu
melibatkan dua pihak, Mif. Dua keluarga. Jikapun bapakmu atau ibumu tidak
masalah, kita juga harus mengira-ngira apakah kamu atau keluargamu disukai atau
tidak...”.(Kambing
dan Hujan, hal 21).
Maka dari cerita
tersebut, sampailah pada sebuah cerita tentang perbedaan dua pandangan antara
kampung Utara, yang diwakili Muhammadiyah dan kampung selatan, yang diwakili
Nahdhatul Ulama’. Kisah tentang sejarah kultural dan sosial Tegal Centong yang
kompleks, yang memengaruhi hubungan Mif dan Fauzia nantinya.
Berawal dari kisah
persahabatan dua orang sahabat yang tak terpisahkan kala itu sekitar tahun
1960-an, yakni Moek atau Mat(Fauzan), bapak Fauzia dengan Is (yang tak lain
adalah Iskandar), bapak Mif. Mereka bersahabat begitu baik, terlebih memang
mereka berdua bersekolah di sekolah yang sama di SR, Sekolah Rakyat, kalau
sekarang disebut SD. Masa kanak-kanak hingga remaja mereka habiskan dengan
bermain sepulang sekolah dengan menggembala kambing lalu bermain di Gumuk
Genjik, sebuah gumuk yang mirip anak celeng. Tempat favorit mereka bertemu,
sambil angon Kambing-kambing gembalaan menyantap hijaunya rumput yang
membentang, sembari berbincang seputar kehidupan, kitab kuning , agama,
pendidikan dan lain sebagainya. Meski pada akhirnya keduanya dipisahkan, karena
Moek pergi melanjutkan pendidikannya di Pesantren sementara Is tetap tinggal di
Tegal Centong, menjadi penggembala kambing.
Setelah beberapa tahun
tak bertemu, Is dan Moek mulai merasakan ada yang berbeda dengan cara pandang
mereka. Dua sahabat karib yang dulunya sedekat nadi kini sudah semakin
merenggang akibat perbedaan paham organisasi Islam yang mereka anut
masing-masing. Memang, di Desa Tegal Centong bisa dikatakan masih kuat dalam
memegang tradisi lama, artinya masih terikat pada budaya lama, seperti menyukai
ritual sesajen, tayuban, dan kegiatan ritual lainnya dan hal semacam itu masih
dilakukan oleh orang Nadhliyyin, keluarga Moek. Sedangkan Is telah ikut pada
pengaruh orang orang pembaharu yakni Muhammadiyah yang datang ke desa itu,
meski sejatinya mereka mayoritas NU namun waktu telah mengubahnya.
"Dan, apa
salahnya berbeda? Tuhan menciptakan makhluk juga berbeda-beda... Dan, mereka
memang menjadi dua orang yang berbeda. Tapi, karena apa yang kalian
lakukan--atau apa yang kalian tidak lakukan--anak-anak kalian jadi dua orang
yang berbeda sekaligus saling ingin melenyapkan." (Anwar, hlm. 338)
Namun pada akhirnya
konflik panjang masa lalu itu dapat berakhir dengan indah dan damai, tanpa ada
pihak yang dirugikan maupun yang tersakiti setelah ada salah satu tokoh penting
yakni berperan sebagai sahabat keduanya kala itu. Berkat dia, akhirnya dua
orang yang sekian lama tak saling menyapa bisa punya alasan dan keberanian
untuk saling berbicara lagi. Pak Anwar adalah simbol pemersatu. Di masa lalu,
ia pun tak segan menyeberang dari Utara ke Selatan, karena niat tulusnya untuk
mengajar di madrasah. Lalu, sebagai orang Utara, ia menikah dengan Bu Siti,
orang Selatan. Namun memang tak mudah jadi orang yang sekaligus Utara dan
Selatan seperti Pak Anwar. Ia tak diterima dua-duanya, dan akhirnya minggat ke
Brunei Darussalam. Tindakan ini bisa dianggap pengecut, sih. Tapi setidaknya,
Pak Anwar menebus kepengecutannya itu dengan mempertemukan kembali Is dan Mat.
Pak Anwar yang dihadirkan lagi oleh Mahfud Ikhwan pada bagian akhir cerita
dalam novel ini. Ia mampu menetralisir suasana hingga membuat dua sahabat karib
itu akhirnya luluh dan saling menurunkan ego untuk masa depan anak-anaknya.
Ada banyak hal yang bisa
kita pelajari dan analisis dari Novel Pemenang Sayembara DKJ 2014 ini, saya
kira novel ini hanya berkisah tentang perjuangan sepasang manusia dalam
memperjuangkan cinta terlarangnya akibat pertentangan dan perbedaan ideologi
dari dua keluarga tersebut. Memang sejak saya mendapatkan novel ini dari salah
satu senior saya yang waktu itu atas nama titipan bukan pemberian.Yang katanya
bagus, dilihat dari sinopsis nya tentang kisah cinta berbeda ideologi, tapi
saya baru tertarik untuk membacanya sekarang.
Dan memang benar kisah
cinta Mif dan Fauzia dalam novel tersebut hanyalah lapisan epidermis saja.
Atau, ia hanyalah gerbang yang mengantarkan pada halaman rumah berikutnya.
Kisah antara Mif dan Fauzia hanya diceritakan sepotong-sepotong, di bagian
awal, pertengahan dan akhir. Sebagian besar novel ini berisi sejarah dan
dokumentasi dinamika sosial penduduk Tegal Centong. Juga mengenai dialektika
agama, budaya, kebiasaan, sosiologi, dan perspektif lainnya yang bisa dianalisa
lebih dalam lagi yang membuat novel ini semakin menarik saja.
Masa PKI yang sedang
gencar-gencarnya pada kisah dalam sejarah tahun 1960-an, lalu kejadian Gestapu,
G30 S/PKI yang sedang mencuat menjadi salah satu scene yang tak bisa dilewatkan
dalam novel ini. Juga kita dapat menganalisis terkait persoalan peran
oraganisasi Islam, kiai, santri dan pesantren yang dianggap memilliki peran
besar dalam konteks masa itu.
Aku dan kamu bagai
Kambing dan hujan yang menolak untuk saling bersentuhan. Begitu kiranya Mahfud
Ikhwan menggambarkan ketegangan di antara Is dan Moek. Kambing dan hujan mewakili kelompok
NU dan Muhammadiyah di Tegal Centong. Oleh karena saya sebelumnya belum tahu
bagaimana sejarah munculnya dua kelompok tersebut, apa yang diceritakan oleh
novel ini memberi pengetahuan baru bagi saya.
Akhirnya saya pungkasi
review saya untuk novel Kambing dan Hujan ini pada sebuah kutipan menarik yang
dapat saya rangkai dari cuplikan novel tersebut, yakni sebagai berikut “Kita
dapat melakukan apa yang mesti dilakukan orang yang memperjuangkan cinta dan
cita-citanya. Ketika sepasang manusia saling mencintai. Saya harap saling
mencintailah dengan cara yang biasa dan sederhana, jangan terlalu menggebu,
apalagi membabi buta. Jangan sampai pandangan ‘tanpa diriku di sisiku lebih
baik aku mati’ atau ‘hidupku tak berarti tanpamu’. Jangan begitu. Janganlah
meniru tokoh-tokoh dalam roman Hamka. Coba cermati, karena cinta yang terlalu
menggebu-gebu, mereka rata-rata mati muda. Hampir semuanya.” (Kambing dan Hujan)
//buku berjudul
Kambing Dan Hujan merupakan Pemenang Sayembara Novel DKJ 2014, Karya sastra
terbaik 2015 versi Jakartabeat, dan buku terbaik 2015 versi Mojok.co. Ditulis
oleh Mahfud Ikhwan dan diterbitkan oleh PT. Bintang Pustaka, edisi kedua
cetakan pertama April 2018. Tebal halaman berjumlah viii+380 hlm.; 20,5 cm.//
Peresensi Luq Yana Chaerunnisa
Komentar
Posting Komentar